REFLEKSI SE TAHUN PANDEMI COVID-19
Sekalipun covid-19 masih menghimpit, tapi pendidikan harus tetap eksis dan bahkan bangkit. Usaha mengatasi seperti keharusan vaksinasi dan bahkan sudah diprioritaskan kepada tenaga kesehatan dan para pendidik, serta tenaga kependidikan
Seiring berjalannya waktu yang terus menggelinding tanpa henti, ternyata sudah se tahun kita hidup dan menjalani kehidupan di tengah serba keterbatasan gara-gara pandemi covid-19. Beberapa sektor seperti ekonomi, pendidikan, dan beberapa bisnis yang terkena imbasnya sudah pada gerah dan bertanya-tanya, kapan pandemi covid-19 ini berakhir?
Penulis sangat merasakan dampaknya di dunia pendidikan. Pembelajaran daring memang sangat menolong daripada harus berhenti dan tidak belajar sama sekali. Sementara sudah lebih dari se tahun lamanya, dengan tanpa mengenal peserta didik satu per satu terutama dari sisi afektifnya, karena hanya sebatas nampak muka di layar kaca, toh pembelajaran harus tetap berlangsung. Soal efektif ntar dulu, yang penting dari waktu ke waktu pembelajaran masih bisa dipicu dan dipacu dengan mengerahkan kemampuan kreatif dan inovatif pendidik.
Niatan untuk membuka kembali sekolah/kampus, butuh jaminan penegakan protokol kesehatan di masyarakat secara umum, bukan sekedar di ruang kelas. Begitu rumitnya persiapan belajar tatap muka. Usaha mengatasi seperti keharusan vaksinasi dan bahkan sudah diprioritaskan kepada tenaga kesehatan dan para pendidik, serta tenaga kependidikan namun, keputusan tentang jadi atau tidaknya dimulai sekolah secara tatap muka pada bulan Juli 2021 harus seijin Pemerintah Daerah setempat dengan kriteria zona hijau dan ijin dari para orangtua peserta didik, jadi bukan kewenangan Kemendikbud, demikian ujar Mas Menteri Nadiem.
Repotnya jika ternyata nantinya hanya sedikit orangtua yang mengijinkan anaknya untuk bersekolah secara tatap muka dan masih tetap menginginkan secara daring, lalu bagaimana jadinya? Mas menteri, atas nama pemerintah memberikan porsi besar kepada orangtua siswa untuk memutuskan anaknya tetap belajar dari rumah atau mengikuti pembelajaran tatap muka di kelas. Sekalipun pembelajaran tatap muka nantinya digelar dengan memperhatikan protokol kesehatan yang super ketat dan sangat terbatas namun ‘bahaya’ covid-19 tetap harus diwaspadai.
Upaya pencegahan covid-19 diharapkan datang dari para pendidik, dengan memberi teladan terhadap program vaksinasi nasional. Hal ini sekaligus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan kalangan dunia pendidikan akan pentingnya kesadaran diri menjaga kesehatan. Agar aktivitas dan kualitas hidup masyarakat dan bangsa Indonesia berangsur pulih ke depannya.
Protokol kesehatan di seluruh wilayah NKRI harus tetap menjadi fokus perhatian kita bersama, mulai dari perilaku sebelum ke luar rumah, menuju ke sekolah, saat di sekolah, bekal makan siang, tata cara makan dan sebagainya hingga perjalanan pulang sekolah dengan tetap menjaga dan mematuhi tata tertib, semua harus di jalani dengan taat dan disiplin 100%.
Kalau di Indonesia ada lebih kurang lima juta guru/pendidik dan setidaknya ada lima puluh juta siswa/peserta didik, secara kasar maka setidaknya seorang guru hanya diperbolehkan berhadapan dengan 10 – 15 siswa dalam satu ruang kelas. Mana mungkin, sedang semua kita tahu bahwa setiap kelas biasanya berisi 30 – 40 peserta didik. Oooh rumitnya persiapan belajar secara tatap muka, padahal mengajar siswa 15 atau 30 itu sama, hanya saja yang membedakan adalah efektivitas pembelajaran namun, apabila guru dapat mengelola kelas dengan baik maka tidaklah terlalu sulit berlangsungnya Proses Belajar Mengajar (PBM) itu.
Didukung dengan teknologi pendidikan yang berkembang pesat saat ini, kiranya pendidik dapat berinteraksi dengan peserta didiknya dengan asyik dan pembelajaran menjadi PAIKEM (Pembelajaran – Aktif – Inovatif – Kreatif – Efektif – Menyenangkan). Guru berperan sebagai fasilitator dan memfasilitasi pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi dan komunikasi. Selain bertindak sebagai fasilitator, guru adalah juga seorang motivator, administrator, mediator dan evaluator. Oleh karena itu, jadilah educator yang handal niscaya siswa tidak kendor dalam menempuh studinya dan tetap dapat meraih cita-citanya, walau covid masih mengintip.
Berbicara tentang teknologi pendidikan, guru dituntut adaptif dalam penguasaan teknologi dan juga kemampuan pedagogisnya dalam PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh); demikian juga halnya dengan siswa, memang keduanya ibarat sepasang ‘sumpit’ yang bekerja sama dalam PBM (Proses Belajar Mengajar). Oleh karena itu, baik pendidik maupun peserta didik hendaknya dapat bersinergi, berkolaborasi dan berkordinasi, serta berkomunikasi dengan efektif dan efisien (mangkus dan sangkil).
Percayalah, bahwa sekalipun covid-19 masih menghimpit, tapi pendidikan harus tetap eksis dan bahkan bangkit. Nicaya Indonesia menjadi bangsa yang maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia di era globalisasi ini. Selamat berjuang pahlawanku, jasamu tiada tara. Aku bisa pandai karena pak guru dan bu guru; aku bisa bijak juga karena pak guru dan bu guru. Mari kita terus berusaha dan berdoa, kiranya usaha pemerintah tentang gencarnya pemberian vaksinasi kepada tenaga pendidik dan tenaga kependidikan tidak menjadi sia-sia.
Jakarta, 19 Maret 2021
Salam sehat dari penulis: E. Handayani Tyas – tyasyes@gmail.com