MARI! SEGERA KELUAR DARI ZONA NYAMAN

Bersiap-siap untuk menghadapi masa transisi ini sungguh memicu dan memacu semangat kita untuk segera keluar dari zona nyaman. Pembelajaran tatap muka diharapkan dapat segera kembali digelar, seiring dengan gencarnya program pemerintah tentang vaksinasi.

MARI! SEGERA KELUAR DARI ZONA NYAMAN
Mari Keluar dari Comfort ZOne

 

 

          Penutupan sekolah/kampus yang berkepanjangan menimbulkan kekhawatiran bagi orangtua, guru dan siswa. Terutama mereka yang tinggal di daerah tiga T (Tertinggal – Terdepan – Terluar), yaitu daerah yang letaknya berada jauh dari ibu kota provinsi. Hal ini berdampak makin melebarnya kesenjangan pendidikan, karena kondisi demikian pasti akan mengakibatkan hilangnya pengalaman belajar (learning lost) gara-gara pandemi covid-19.

            Bagaimanapun juga Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak akan berlangsung permanen. Pembelajaran secara daring patut kita syukuri, karena dengan kondisi seperti yang sekarang kita alami bersama, pendidik masih bisa berinteraksi dengan peserta didiknya, walau sebatas layar komputer atau HP. Kecanggihan IT (Informasi Teknologi) yang satu ini membuat dunia pendidikan tidak harus berhenti total.

            Namun, efek terjadinya ‘kemalasan’ yang dialami sebagian peserta didik karena tidak memperoleh bimbingan yang efektif dari guru dan orangtua membuat mereka telena dalam zona nyaman.  Untuk beradaptasi dengan hal baru ini belum semuanya mampu, sementara di sisi lain seperti kendala peralatan yang mendukung (komputer/laptop), jaringan internet dan kompetensi guru dan orangtua yang terbatas membuat peserta didik tidak optimal belajar dan bahkan bisa dikatakan tidak belajar.

            Bagi mereka yang tidak tekun dan ulet akan berpotensi putus sekolah. Pada tahun 2020 paling tidak ada 938  anak usia 7 – 18 tahun putus sekolah akibat pandemi covid-19 (Kompas, 24 Desember 2020). Kegiatan belajar di rumah atau  dari rumah harus dioptimalkan, karena korona belum berakhir. Pembelajaran secara luring yang direncanakan berlangsung pada bulan Januari 2021 menjadi tertunda dan baru akan dimulai pada tahun ajaran baru periode 2021/2022 (sekitar bulan Juli 2021). Itupun belum sepenuhnya off line, karena kemungkinan besar pembatasan sosial masih dijalankan dan jumlah peserta didik yang masuk ke sekolah tetap dibatasi.

            Bersiap-siap untuk menghadapi masa transisi ini sungguh memicu dan memacu semangat kita untuk segera keluar dari zona nyaman. Pembelajaran tatap muka diharapkan dapat segera kembali digelar, seiring dengan gencarnya program pemerintah tentang vaksinasi. Semua pihak yang berkecimpung di sunia pendidikan hendaknya seia sekata dan bergotong royong, bahu-membahu berbenah diri agar jangan sampai terjadi lahirnya generasi yang ‘hilang’ (kehilangan kesempatan belajar).

            Jika tidak ada penanganan yang serius dikhawatirkan terjadi capaian belajar yang rendah (di bawah rata-rata), kemampuan baca tulis bagi anak-anak di tingkat SD (Sekolah Dasar) menjadi sangat memprihatinkan. Oleh karena itu diperlukan tindakan percepatanan (akselerasi) dari semua pihak. Nyaris terjadi learning poverty yang berakibat fatal karena generasi milenial ini akan kehilangan potensi sebagai pekerja di masa depan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dirasa mendesak dan imbasnya pasti akan menjadi beban ekonomi, atau bahkan bayang-bayang menumpuknya pengangguran di usia potensialnya sudah di depan mata.

            Bonus demografi yang seharusnya dimaknai peluang berubah menjadi ancaman/ bencana. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)  yang terdidik sangat mendesak sebab jika tidak, mereka akan menjadi pekerja-pekerja kasar di sektor non formal. Pemuda/generasi muda adalah aset bangsa, orang sering menyebutnya dengan tulang punggung negara, jadi kalau Indonesia mau maju, didiklah anak-anak, remaja, pemuda, karena memang belajar harus berlangsung sepanjang hayat (lifelong education or lifelong learning), tiada batas waktu seorang untuk belajar.

            Mendidik mempunyai makna memekarkan potensi peserta didik dalam tiga ranah, yaitu kognitif – afektif – psikomotorik. Pendidikan dikatakan berhasil jika terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Guru/pendidik hendaknya mampu menemukan dan menyelesaikan setiap persoalan  (cakap bertindak sebagai problem finder dan problem solver) yang dihadapi setiap peserta didiknya, dengan selalu mengingat bahwa setiap peserta didik memiliki perilaku khas dan gaya belajar yang berbeda-beda. Guru/pendidik yang mau dan mampu memahami setiap ciri khas anak itulah yang akan dapat meningkatkan kualitas belajar peserta didiknya.

            Sekalipun harus bekerja keras mari pecinta pendidikan singsingkan lengan baju untuk menangani pendidikan. Bukankah Kaisar Jepang (Hirohito) seusai Perang Dunia II di tahun 1945 bulan Agustus, negara Jepang  mengalami porak poranda namun, tetap bersemangat, dengan menanyakan: “Berapa guru dan tenaga kesehatan yang masih hidup?” Selanjutnya mereka dikirim untuk belajar ke nagara-negara maju untuk kemudian kembali ke Jepang dan memajukan negaranya.  Pendidikan dan kesehatan yang baik menunjukkan majunya suatu negara.

            Indonesia juga pasti mengalami kemajuan karena pemerintah sangat peduli dengan dunia pendidikan dan kesehatan. Dengan usaha dan doa, covid-19 cepat berlalu dan anak-anak usia sekolah bisa segera kembali menikmati pembelajaran di sekolah, berinteraksi dengan guru dan teman-temannya dengan riang gembira.  Guru-guru pun sudah rindu dengan meriahnya suara anak-anak yang ceria walau kadang-kadang juga memekakkan telinga. Kita tidak boleh tetap tinggal dalam zona nyaman (comfort zone), segera bangkit dan keluar dari kenyamanan dan bersiaplah untuk mengadakan lompatan-lompatan ide-ide kreatif dan inovatif  untuk mengejar ‘ketertinggalan/kemandegan’ aktivitas belajar mengajar di sekolah yang sudah berlangsung satu tahun lamanya.

Jakarta, 3 Maret 2021

Salam sehat dari penulis: E. Handayani Tyas – tyasyes@gamail.com